Sunday, November 19, 2006

JAMES NACHTWEY: THE WAR PHOTOGRAPHER

Can suffering be shared? If so, then how could photographs describe it?

To answer this question, James Nachtwey has proven that he has made a huge impact by his pictures. Photograph can speak louder than any words. It knocks people hearts and increases their concern. And, it works!

Nachtwey, a German photographer finds the world imperfect, full of violence, discrimination, poverty and war. This documentary movie creates a real motion of his living. Known as a man of quiet, courage and integrity, Natchwey dedicated his life to representing the life of human being who lives in struggle. With compassion, he has witnessed miseries that happen all over the world.

Starting with a portrait of Kosovo, his heart runs to the suffering of loss after war and the hostilities which tears are not enough to resolve. People did not get any advantages from the war, only sorrow. Young men stay in the situation of guns and violence, and then kids learn how to take revenge. As in Kosovo, so too in Palestine. Without fear, Natchwey took all the risks to win trust from the people he photographs.

Natchwey has also featured the poverty and slums in Jakarta (Indonesia). The main character of this story is Sumarno, a paralyzed man who lives near the railway track with his wife and two children. Poverty has become his reality, but he keeps building love, care and joy for his family.

Nachtwey works not only for news and aesthetics. It deals with a humanitarian mission. It is a flaming spirit and with the flame Natchwey has inspired people in the world across borders and across generations.

AMARTYA SEN: PEMBANGUNAN SEBAGAI PEMBEBASAN

Manusia dalam hitungan angka-angka
Di masa lalu, pendekatan yang paling dominan dalam pembangunan lebih mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang mengacu pada pendapatan per kapita, keamanan pangan dalam kaitannya dengan ketersediaan pangan, dan kemiskinan dalam pengertian jumlah pendapatan yang rendah. Akan tetapi dalam sejarah perkembangannya, umat manusia mendapati kenyataan bahwa “pembangunan”, istilah yang mengemuka pada dekade 1940’an ini tidak dapat hanya disederhanakan dalam bentuk angka-angka pendapatan perkapita, tetapi juga terkait di dalamnya parameter kesejahteraan seperti pendidikan, kebebasan, dan demokrasi. Pembangunan semestinya berkaitan dengan bagaimana memajukan kesejahteraan dan meningkatkan kebebasan manusia. Kalaupun kemudian akan diukur dengan parameter pendapatan (income), hal ini hanyalah salah satu faktor yang menyumbang terhadap kesejahteraan dan kebebasan, tetapi bukan satu-satunya faktor. Itu artinya pertumbuhan ekonomi akan menjadi dasar pengukuran yang lemah untuk melihat kemajuan suatu negara. Karena bagaimana pun pembangunan merupakan upaya perluasan kemampuan rakyat (expansion of people's capability) dan lebih jauh lagi pembangunan merupakan pembebasan (development as freedom).

Dalam konteks tersebut, pemikiran dan gagasan Amartya Sen, nobelis dunia asal India, menjadi relevan dan penting disimak. Professor Sen adalah ilmuwan kelas dunia dengan kepedulian yang kuat terhadap hak asasi manusia. Memenangkan hadiah nobel di bidang ekonomi pada tahun 1998, gagasan Sen mengarah pada signifikansi kesejahteraan dan hak asasi manusia dalam teori dan praktik-praktik pembangunan. Ia memberikan landasan dan kontribusi dalam “welfare economics” dan mengembangkan pemikiran untuk mengembalikan dimensi etis dalam problem-problem ekonomi. Dalam teori-teorinya Amartya Sen menarik perhatian internasional terutama dalam rangka memajukan kesejahteraan, pembangunan manusia dan keamanan ekonomi. Baginya, pengingkaran terhadap hak asasi akan menjadi kendala bagi pembangunan manusia, karena jaminan akan hak asasi manusia dapat mengurangi resiko bencana sosial ekonomi. Hal ini jelas dapat diterapkan apabila anggota-anggota masyarakat memiliki sarana atau akses untuk mengadu, memperoleh kesempatan untuk mendapatkan informasi dan pengajaran yang mampu membuka wawasan dan kesadaran akan hak mereka.

Apa yang dicapai oleh Amartya Sen memang fenomenal. Lahir tahun 1933 di Santiniketan, Bengali Barat, India, Amartya Sen menghabiskan usia pendidikan dasar dengan pengaruh yang sangat kuat dari Rabindranath Tagore. Lebih dari separuh hidupnya dicurahkan pada masalah-masalah yang sehari-hari dihadapi oleh negara Dunia Ketiga, yakni kemiskinan, kelaparan dan pembangunan, dan keseluruhan gagasannya tersebut dikembangkannya dalam dunia pendidikan dan pengajaran di universitas. Beberapa karyanya adalah Development as Freedom (1999), On Ethics and Economics (1987), Poverty and Famines: An Essay on Entitlements and Deprivation (1982). Ilmuwan yang pernah bercita-cita menjadi bikshu ini kini menjadi guru besar ilmu ekonomi dan filsafat pada Trinity College di Cambridge, Inggris, dan beberapa universitas lain di dunia. Sen juga menjabat Presiden Asosiasi Ekonom Amerika. Menariknya, meskipun sebagian besar dari usianya dihabiskan di Amerika dan Inggris, Sen tetaplah seorang warga negara India.

Sebagai ilmuwan yang mengedepankan pentingnya restorasi etis dalam penerapan ilmu ekonomi teori-teori Sen merupakan terobosan penting dalam ekonomi pembangunan. Pada awalnya, obsesi keilmuan Sen memang terdengar klise dan banyak dicemooh, termasuk oleh profesornya di Cambridge, namun hal itu tidak menyurutkan keyakinan dan kesungguhan untuk terus bekerja mengkaji dan merevisi sejumlah parameter ekonomi pembangunan. Masa kecilnya di India yang akrab dengan kemiskinan membuatnya bertekad untuk mengenyahkan kemiskinan melalui ilmu ekonomi, hingga PBB akhirnya mengakui temuan-temuannya sangat signifikan untuk memetakan kemiskinan dan kelaparan di dunia. Hasil kerjanya dipandu oleh keyakinan bahwa ilmu ekonomi tidak hanya berurusan dengan pendapatan dan kekayaan, melainkan seharusnya juga berwajah manusia dengan dimensi moral yang kuat.

Dalam konteks human capital, idealnya manakala manusia mampu mengoptimalkan potensinya, akan maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Itu artinya, kesejahteraan suatu bangsa semestinya dapat dicapai dengan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Namun dalam pemikiran Sen, hal tersebut menjadi tidak buntu manakala akses terhadap anggota masyarakat untuk memanfaatkan segala potensinya dan menentukan pilihan untuk mengembangkan hidupnya terbatas dan dibatasi. Bagaimanapun, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan, salah satunya adalah persoalan aksesibilitas, baik kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial, termasuk pendidikan dan kesehatan, kebebasan mendapatkan informasi dan menyalurkan aspirasi serta kesempatan memperoleh pengamanan sosial. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan, baik untuk kepentingan pengembangan kesejahteraan dirinya maupun pengembangan kesejahteraan bersama.

Demokrasi, kemiskinan dan kelaparan dunia ketiga

Salah satu pengamatan dan pemikiran terpenting dalam karya-karya Sen adalah kajiannya mengenai bencana kelaparan yang menimpa dunia pada tahun 70an di sejumlah negara yang ternyata memiliki hubungan yang sangat erat dengan perkembangan demokrasi. Penelitiannya tersebut didukung data hasil serangkaian penelitian besar di berbagai negara Dunia Ketiga, antara lain bencana kelaparan besar di Bengali (1974), Ethiopia (1973 dan 1974), Bangladesh (1974), dan negara-negara Sahara (1968-1973). Menurutnya bencana kelaparan lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan ekonomi, semisal sistem administrasi dan pengelolaan distribusi pangan, ketimbang karena kelangkaan persediaan pangan atau kegagalan panen. Bencana kelaparan – adalah wujud paling ekstrem dari kemiskinan, dan hal itu hanya terjadi dalam masyarakat dengan sistem pemerintahan yang otoriter, negara diktator teknokratis, dalam ekonomi kolonial yang dijalankan oleh negara-negara imperialis dari Utara dan negara-negara baru merdeka di Selatan yang dijalankan oleh pemimpin nasional yang despotik atau partai tunggal yang tidak toleran.

Menurutnya, kelaparan secara substansial tidak pernah terwujud di negara mana pun yang independen, yang mengadakan pemilihan umum secara teratur, yang memiliki partai-partai oposisi untuk menyuarakan kritik dan yang mengizinkan surat kabar untuk membuat laporan secara terbuka dan mempertanyakan kebijakan pemerintah. Belakangan ini, negara yang sedang mengalami bencana kelaparan parah, seperti Korea Utara dan Sudan, adalah negara yang jelas-jelas memiliki rezim otoriter. Oleh karena itu, menurutnya krisis yang menghantam negara-negara Asia sejak tahun 1987 itu adalah akibat negara-negara kawasan ini telah mengabaikan perlindungan demokrasi.

Bila melihat ke masa lalu, agenda pembangunan sejak awal selalu memiliki keterkaitan yang erat dengan kehidupan manusia (human life). Akan tetapi, kaum miskin dan korban-korban pembangunan di berbagai dunia ketiga termasuk di Indonesia mungkin tidak terlalu tertarik dan tidak terfikir tentang demokrasi ketika pertumbuhan sedang melaju tinggi. Sebelum krisis ekonomi berlangsung mereka mengira roda ekonomi seakan terus melaju sementara pemerintahnya terus menjanjikan perbaikan ekonomi. Hanya saja ketika dinding itu runtuh menimpa sebagian besar kalangan masyarakat, ketiadaan lembaga demokrasi membuat suara rakyat terbungkam dan tidak efektif. Payung protektif demokrasi sama sekali tak tersedia tepat ketika ia sangat dibutuhkan. Gagasan dan pemikiran Sen sangat menarik bila direfleksikan dengan kondisi Indonesia dengan sistem pemerintahan baru. Pertanyaannya, apakah memang demokrasi yang kita bangun telah benar-benar mampu mensejahterakan masyarakat dalam arti yang sebenarnya? Ataukah memang demokrasi tersebut hanya bersifat semu, dimana hak-hak masyarakat justru diingkari dan dikhianati?. Itu artinya, ketika pemerintah dibiarkan berjalan sendiri tanpa didukung oleh sistem yang terbuka bagi keterlibatan warganya maka bencana ekonomi tidak akan terelakkan. Demokrasi, akan menjadi isu sentral dan baru terasakan ketika krisis mengancam dan kelompok yang tercerabut secara ekonomis membutuhkan penyaluran suara yang dapat disediakan oleh demokrasi.

Indikator-indikator kemiskinan, ketidakmerataan distribusi ekonomi, dan kelaparan, dalam pengamatan Sen, erat kaitannya dengan elemen moral dalam sistem pengambilan keputusan ekonomi di tingkat atas. Seperti telah disebutkan sebelumnya, kelangkaan pangan bukanlah penjelasan yang cukup masuk akal bagi bencana kelaparan, terutama di tempat-tempat dimana pangan dan sumber daya alam tersedia melimpah. Namun dengan adanya kemiskinan ditambah krisis ekonomi menimpa negara-negara dunia ketiga, beban terberat tertuju kepada lapisan masyarakat yang paling rentan dan paling tidak berdaya berhadapan dengan mesin-mesin “pembangunan”. Pembangunan berkelanjutan sekalipun kerap kali melupakan fakta bahwa apa yang dibutuhkan rakyat untuk keamanan mereka bukan hanya keberlanjutan pembangunan secara keseluruhan, melainkan juga kebutuhan akan perlindungan sosial ketika bencana tersebut datang berhampiran. Lebih jauh lagi, menurutnya pembangunan semestinya tidak menjadi proses yang dingin dan menakutkan yang justru mengorbankan darah, keringat serta air mata rakyat. Pembangunan, adalah sesuatu yang semestinya memiliki wajah yang lebih bersahabat bagi rakyat, karena untuk merekalah istilah “pembangunan” itu ada. Pembangunan juga pada akhirnya mesti menjadi sarana bagi rakyat untuk mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya.

Akrab dengan panggilan Babu, Amartya Sen menggenapkan posisinya sebagai seorang professor sejak usia 23 tahun. Bertahun-tahun menekuni dunia ekonomi, dia tidak saja dikenal sebagai ekonom berpandangan tajam, tetapi juga pemikir kritis yang mampu menganalisa berbagai masalah politik dan budaya dari sisi paling dasar. Argumen-argumen yang bersifat falsafi kerap bermunculan dan secara konsisten mengedepankan etika, sebagai perbandingan yang seimbang. Selama berabad-abad telah tercipta jarak yang sangat jauh antara ekonomi dan etika, dan itulah yang menjadi penyebab mengapa ilmu ekonomi gagal mensejahterakan kehidupan manusia secara mendasar, oleh karena itu Amartya Sen menjejakkan seluruh hidup dan karya untuk memadukan ekonomi dan etika agar menjadi landasan perilaku aktual dari aktor-aktor ekonomi. Bahwa pada akhirnya ilmu menjadi tidak memiliki konteks dan kegunaannya tanpa landasan moral dan pemahaman yang utuh akan integritas manusia. (AN, dikumpulkan dari berbagai sumber)
**

HINA JILANI & ASMA JAHANGIR: MELAWAN LEWAT PELURU KATA-KATA

“You are fighting with your pen, you are fighting with the instruments of law, against a power with a gun, a power that does not recognize the law”

Mencari satu di antara nama tak dikenal yang tekun bersuara soal perlindungan dan pemenuhan hak asasi, di tingkat internasional maka mata dunia tidak bisa dilepaskan dari kehadiran dua perempuan bersaudara Hina Jilani dan Asma Jahangir. Lahir dari kalangan keluarga yang aktif dalam politik di tahun 1950an di Pakistan, Asma Jahangir dan Hina Jilani lahir dan dibesarkan dalam situasi yang lekat dengan konflik dan perjuangan akan keadilan. Ayah mereka beberapa kali dipenjara karena pandangan-pandangannya yang berbeda dengan kalangan pemerintah dan masyarakat tradisional. Keberaniannya berbicara, termasuk kritik terhadap pemerintah Pakistan menyangkut pembantaian sipil selama aksi militer – di daerah yang sekarang menjadi wilayah Bangladesh – menyebabkannya harus mendekam di bui. Sementara ibu mereka – salah satu wanita terpelajar, ketika kebanyakan perempuan muslim di Pakistan sedikit sekali mendapatkan pendidikan tinggi – juga dengan berani melawan sistem tradisional, merintis bisnis pekaian ketika tanah keluarga dirampas oleh negara tahun 1967 karena suaminya ditahan.

Dengan latar belakang itulah maka tidak mengherankan maka kedua bersaudara tersebut merintis karir dan perjuangannya untuk mendapatkan keadilan dan menggerakkan perubahan sosial. Selama hampir 20 tahun terakhir, mereka tercatat di baris depan gerakan hak perempuan, hak asasi dan perdamaian di Pakistan. Menggarap isu hak perempuan di Pakistan tidak ubahnya menggugat sendi dasar demokrasi yang tidak dapat ditegakkan tanpa prinsip kesetaraan, non-diskriminasi dan partisipasi penuh semua kalangan dalam masyarakat dalam pengambilan keputusan. Selama bertahun-tahun kaum perempuan di sub-benua itu dibelenggu oleh wacana domestik hingga terlupakan dari kancah politik dan demokrasi. Pun, ketika akhirnya negeri itu harus menempatkan perdamaian sebagai strategi dalam diplomasi dengan negara-negara tetangga, perempuan masih larut dalam isu parsial dan tidak diperhitungkan sebagai bagian dari proses tersebut.

Tapi Hina dan Asma membuat terobosan baru dalam gerakan tersebut. Meski berbeda dalam pencapaian pendidikan mereka, ketika Hina lulus sebagai sarjana terbaik, sementara Asma sibuk di jalan menggalang demonstrasi. Dia lebih diingat sebagai tahanan politik dengan keyakinan, keberanian dan kegigihan akan keadilan. Pada 1969 dia memimpin protes mahasiswa terhadap diktator militer pakistan Ayub Khan, menantang peluru di depan rumah gubernur untuk mengibarkan bendera hitam. Pada tahun berikutnya dia membuat petisi untuk membebaskan ayah mereka dan menentang undang-undang dalam keadaan bahaya di pengadilan, dan dia menang! Untuk pertamakalinya di pengadilan Pakistan, dinyatakan bahwa aturan militer tidak konstitusional. Kasus itu mendongkrak reputasinya dan sempat menghebohkan Pakistan.

Berdua, kemudian mereka mendirikan firma hukum untuk hak perempuan di Pakistan pada 1981, membentuk Women’s Action Forum, sebuah kelompok penekan yang melakukan kampanye menentang undang-undang yang bersifat diskriminatif, serta mendirikan pusat bantuan hukum untuk memberi layanan pada kelompok miskin. Kasus lain yang mengemuka dari perjuangan mereka adalah ketika harus melawan Evidence law, undang-undang yang menyatakan bahwa nilai kesaksian perempuan dikurangi setengah dari kesaksian laki-laki. Juga, Hadood Ordinances, aturan dimana korban perkosaan harus membuktikan perkaranya, ketidakbersalahannya atau bila ia tidak mampu membuktikannya maka hukumannya justru harus ditanggung oleh korban dengan dakwaan melakukan kontak seksual secara tidak sah. Karena aturan ini mayoritas perempuan yang dipenjara saat ini didakwa atas tuduhan “zina”. Tuduhan tersebut memudahkan para laki-laki untuk menghukum para istri karena aturan yang tersedia mengurangi nilai kesaksian perempuan. Repotnya, seperti yang dilaporkan oleh Amnesty International 40 persen dari perempuan Pakistan menganggap kekerasan dosmestik sebagai takdir mereka. Perlawanan terhadap tradisi dan aturan tersebut membuat keduanya ditahan dipenjara. Selama dekade itu hampir seribu perempuan di Pakistan juga harus mati karena “honor killing “. Menurut Asma, apa yang mereka perjuangkan pada dasarnya sama dengan melawan akar yang dalam dari prejudis sosial yang hampir tidak mungkin dihapus dalam satu malam, seperti pada kasus Samia Sharwar yang menghebohkan itu. Segala aturan dan tradisi tersebut telah menjadi alat represi sosial yang mengekalkan motif-motif patriakal dalam masyarakat Pakistan. Dengan reputasi tersebut kedua pengacara dan aktivis tersebut mengokohkan pijakan mereka, menjadi pengacara di Pengadilan Tinggi selama 1981 dan 1982, melakukan kampanye atas nama anggota kelompok masyarakat yang rentan, melawan kasus-kasus untuk para korban kekerasan domestik, fundamentalis dan feodal, serta para korban honor killing. Secara lebih spesifik, Asma Jahangir bekerja untuk melindungi hak-hak dari bounded labor di Pakistan, dan berhasil mengajukan undang-undang untuk menghapuskannya. Pada tahun 1986 Asma dan Hina mendirikan AGHS Legal Aid, sebuah pusat bantuan hukum pertama cuma-cuma di Pakistan. Pada tahun yang sama mereka menjadi anggota Human Rights Committee di Pakistan, dimana Asma duduk sebagai Sekretaris Jenderal dan kemudian menjadi Ketua.

Meskipun untuk sebagian besar perempuan di Pakistan, figur kedua perempuan bersaudara yang tahun 2001 memenangkan Millennium Peace Prize itu mewakili simbol kebebasan, pandangan mereka yang berbeda dari kebiasaan dan tradisi tersebut sekaligus dipandang menjadi simbol penghancuran nilai-nilai keluarga. Akibatnya, mereka ditangkap, mendapat ancaman, kematian, dam mengalami berbagai propaganda hasutan, kekerasan, intimidasi, hingga usaha pembunuhan. Tapi tanpa rasa takut mereka terus bekerja. Karena aktivisme kedua bersaudara itu tidak tumbuh dalam sekejab, yang dengan mudah dipatahkan oleh bentuk-bentuk teror semacam itu. Bagi Hina, misalnya, aktivis pegiat hak asasi manusia yang hanya duduk di meja tidak lebih dari seorang reporter. Tapi aktivis yang hidup dijalan tidak lebih dari seorang tentara jalanan. Karena itulah maka mereka harus memperluas padang pertempuran itu. Di atas kertas, di panggung pengadilan, dalam aksi jalanan, di balik layar kaca, hingga di depan publik internasional. Pada tahun 1998, Komisi HAM PBB menunjuk Asma Jahangir sebagai Special Rapporteur on Extrajudicial, Arbitrary and Summary Executions. Sementara Hina Jilani yang sekarang menjadi Sekretaris Jenderal Human Rights Commission Pakistan, tahun lalu ditunjuk sebagai Special Representative of the UN Secretary-General on the Situation of Human Rights Defenders. Mereka yang konsisten, tekun dan gigih bekerja untuk membangun dunia yang lebih baik menanggung resiko dan tantangan yang lebih besar pula. Terlebih lagi, dalam keadaan politik dan pemerintahan yang represif, berbagai tindakan dan praktik yang digunakan untuk mengancam kebebasan pembela hak asasi manusia meningkat dari hari ke hari. Kegagalan negara menawarkan jaminan yang efektif terhadap pelanggaran hak asasi manusia telah memberi pelajaran kritis bahwa perlawanan tidak dapat dilakukan sendiri. Itu benar, mereka memang tidak sendiri!

SWEET FREEDOM

It was the idea of having to give up, before he had begun, and when he was so close, so very close. Twenty, fifty, not more than a hundred miles ahead of him lay the frontier of the empire of Monomatapa. Behind him, one hundred miles to the north was the dirty little village of Tete, and the wide river which was the beginning of the long ignoble road back to England, back to obscurity, back to a commission in the thirdrate regiment, back to conformity and the wearying discipline of the cantonments of the Indian army.
Only now that he wes doomed to return to that life did he realize how deeply he hated and resented it, just how much the desire to escape it had brought him here to this wild untouched land. Like a long-term prisoner who has tasted one day of sweet freedom, so the prospect of return to his cage was that much more painful, now.
-- Wilbur Smith, The Falcon Flies.