“You are fighting with your pen, you are fighting with the instruments of law, against a power with a gun, a power that does not recognize the law”
Mencari satu di antara nama tak dikenal yang tekun bersuara soal perlindungan dan pemenuhan hak asasi, di tingkat internasional maka mata dunia tidak bisa dilepaskan dari kehadiran dua perempuan bersaudara Hina Jilani dan Asma Jahangir. Lahir dari kalangan keluarga yang aktif dalam politik di tahun 1950an di Pakistan, Asma Jahangir dan Hina Jilani lahir dan dibesarkan dalam situasi yang lekat dengan konflik dan perjuangan akan keadilan. Ayah mereka beberapa kali dipenjara karena pandangan-pandangannya yang berbeda dengan kalangan pemerintah dan masyarakat tradisional. Keberaniannya berbicara, termasuk kritik terhadap pemerintah Pakistan menyangkut pembantaian sipil selama aksi militer – di daerah yang sekarang menjadi wilayah Bangladesh – menyebabkannya harus mendekam di bui. Sementara ibu mereka – salah satu wanita terpelajar, ketika kebanyakan perempuan muslim di Pakistan sedikit sekali mendapatkan pendidikan tinggi – juga dengan berani melawan sistem tradisional, merintis bisnis pekaian ketika tanah keluarga dirampas oleh negara tahun 1967 karena suaminya ditahan.
Dengan latar belakang itulah maka tidak mengherankan maka kedua bersaudara tersebut merintis karir dan perjuangannya untuk mendapatkan keadilan dan menggerakkan perubahan sosial. Selama hampir 20 tahun terakhir, mereka tercatat di baris depan gerakan hak perempuan, hak asasi dan perdamaian di Pakistan. Menggarap isu hak perempuan di Pakistan tidak ubahnya menggugat sendi dasar demokrasi yang tidak dapat ditegakkan tanpa prinsip kesetaraan, non-diskriminasi dan partisipasi penuh semua kalangan dalam masyarakat dalam pengambilan keputusan. Selama bertahun-tahun kaum perempuan di sub-benua itu dibelenggu oleh wacana domestik hingga terlupakan dari kancah politik dan demokrasi. Pun, ketika akhirnya negeri itu harus menempatkan perdamaian sebagai strategi dalam diplomasi dengan negara-negara tetangga, perempuan masih larut dalam isu parsial dan tidak diperhitungkan sebagai bagian dari proses tersebut.
Tapi Hina dan Asma membuat terobosan baru dalam gerakan tersebut. Meski berbeda dalam pencapaian pendidikan mereka, ketika Hina lulus sebagai sarjana terbaik, sementara Asma sibuk di jalan menggalang demonstrasi. Dia lebih diingat sebagai tahanan politik dengan keyakinan, keberanian dan kegigihan akan keadilan. Pada 1969 dia memimpin protes mahasiswa terhadap diktator militer pakistan Ayub Khan, menantang peluru di depan rumah gubernur untuk mengibarkan bendera hitam. Pada tahun berikutnya dia membuat petisi untuk membebaskan ayah mereka dan menentang undang-undang dalam keadaan bahaya di pengadilan, dan dia menang! Untuk pertamakalinya di pengadilan Pakistan, dinyatakan bahwa aturan militer tidak konstitusional. Kasus itu mendongkrak reputasinya dan sempat menghebohkan Pakistan.
Berdua, kemudian mereka mendirikan firma hukum untuk hak perempuan di Pakistan pada 1981, membentuk Women’s Action Forum, sebuah kelompok penekan yang melakukan kampanye menentang undang-undang yang bersifat diskriminatif, serta mendirikan pusat bantuan hukum untuk memberi layanan pada kelompok miskin. Kasus lain yang mengemuka dari perjuangan mereka adalah ketika harus melawan Evidence law, undang-undang yang menyatakan bahwa nilai kesaksian perempuan dikurangi setengah dari kesaksian laki-laki. Juga, Hadood Ordinances, aturan dimana korban perkosaan harus membuktikan perkaranya, ketidakbersalahannya atau bila ia tidak mampu membuktikannya maka hukumannya justru harus ditanggung oleh korban dengan dakwaan melakukan kontak seksual secara tidak sah. Karena aturan ini mayoritas perempuan yang dipenjara saat ini didakwa atas tuduhan “zina”. Tuduhan tersebut memudahkan para laki-laki untuk menghukum para istri karena aturan yang tersedia mengurangi nilai kesaksian perempuan. Repotnya, seperti yang dilaporkan oleh Amnesty International 40 persen dari perempuan Pakistan menganggap kekerasan dosmestik sebagai takdir mereka. Perlawanan terhadap tradisi dan aturan tersebut membuat keduanya ditahan dipenjara. Selama dekade itu hampir seribu perempuan di Pakistan juga harus mati karena “honor killing “. Menurut Asma, apa yang mereka perjuangkan pada dasarnya sama dengan melawan akar yang dalam dari prejudis sosial yang hampir tidak mungkin dihapus dalam satu malam, seperti pada kasus Samia Sharwar yang menghebohkan itu. Segala aturan dan tradisi tersebut telah menjadi alat represi sosial yang mengekalkan motif-motif patriakal dalam masyarakat Pakistan. Dengan reputasi tersebut kedua pengacara dan aktivis tersebut mengokohkan pijakan mereka, menjadi pengacara di Pengadilan Tinggi selama 1981 dan 1982, melakukan kampanye atas nama anggota kelompok masyarakat yang rentan, melawan kasus-kasus untuk para korban kekerasan domestik, fundamentalis dan feodal, serta para korban honor killing. Secara lebih spesifik, Asma Jahangir bekerja untuk melindungi hak-hak dari bounded labor di Pakistan, dan berhasil mengajukan undang-undang untuk menghapuskannya. Pada tahun 1986 Asma dan Hina mendirikan AGHS Legal Aid, sebuah pusat bantuan hukum pertama cuma-cuma di Pakistan. Pada tahun yang sama mereka menjadi anggota Human Rights Committee di Pakistan, dimana Asma duduk sebagai Sekretaris Jenderal dan kemudian menjadi Ketua.
Meskipun untuk sebagian besar perempuan di Pakistan, figur kedua perempuan bersaudara yang tahun 2001 memenangkan Millennium Peace Prize itu mewakili simbol kebebasan, pandangan mereka yang berbeda dari kebiasaan dan tradisi tersebut sekaligus dipandang menjadi simbol penghancuran nilai-nilai keluarga. Akibatnya, mereka ditangkap, mendapat ancaman, kematian, dam mengalami berbagai propaganda hasutan, kekerasan, intimidasi, hingga usaha pembunuhan. Tapi tanpa rasa takut mereka terus bekerja. Karena aktivisme kedua bersaudara itu tidak tumbuh dalam sekejab, yang dengan mudah dipatahkan oleh bentuk-bentuk teror semacam itu. Bagi Hina, misalnya, aktivis pegiat hak asasi manusia yang hanya duduk di meja tidak lebih dari seorang reporter. Tapi aktivis yang hidup dijalan tidak lebih dari seorang tentara jalanan. Karena itulah maka mereka harus memperluas padang pertempuran itu. Di atas kertas, di panggung pengadilan, dalam aksi jalanan, di balik layar kaca, hingga di depan publik internasional. Pada tahun 1998, Komisi HAM PBB menunjuk Asma Jahangir sebagai Special Rapporteur on Extrajudicial, Arbitrary and Summary Executions. Sementara Hina Jilani yang sekarang menjadi Sekretaris Jenderal Human Rights Commission Pakistan, tahun lalu ditunjuk sebagai Special Representative of the UN Secretary-General on the Situation of Human Rights Defenders. Mereka yang konsisten, tekun dan gigih bekerja untuk membangun dunia yang lebih baik menanggung resiko dan tantangan yang lebih besar pula. Terlebih lagi, dalam keadaan politik dan pemerintahan yang represif, berbagai tindakan dan praktik yang digunakan untuk mengancam kebebasan pembela hak asasi manusia meningkat dari hari ke hari. Kegagalan negara menawarkan jaminan yang efektif terhadap pelanggaran hak asasi manusia telah memberi pelajaran kritis bahwa perlawanan tidak dapat dilakukan sendiri. Itu benar, mereka memang tidak sendiri!