Sunday, November 19, 2006

AMARTYA SEN: PEMBANGUNAN SEBAGAI PEMBEBASAN

Manusia dalam hitungan angka-angka
Di masa lalu, pendekatan yang paling dominan dalam pembangunan lebih mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang mengacu pada pendapatan per kapita, keamanan pangan dalam kaitannya dengan ketersediaan pangan, dan kemiskinan dalam pengertian jumlah pendapatan yang rendah. Akan tetapi dalam sejarah perkembangannya, umat manusia mendapati kenyataan bahwa “pembangunan”, istilah yang mengemuka pada dekade 1940’an ini tidak dapat hanya disederhanakan dalam bentuk angka-angka pendapatan perkapita, tetapi juga terkait di dalamnya parameter kesejahteraan seperti pendidikan, kebebasan, dan demokrasi. Pembangunan semestinya berkaitan dengan bagaimana memajukan kesejahteraan dan meningkatkan kebebasan manusia. Kalaupun kemudian akan diukur dengan parameter pendapatan (income), hal ini hanyalah salah satu faktor yang menyumbang terhadap kesejahteraan dan kebebasan, tetapi bukan satu-satunya faktor. Itu artinya pertumbuhan ekonomi akan menjadi dasar pengukuran yang lemah untuk melihat kemajuan suatu negara. Karena bagaimana pun pembangunan merupakan upaya perluasan kemampuan rakyat (expansion of people's capability) dan lebih jauh lagi pembangunan merupakan pembebasan (development as freedom).

Dalam konteks tersebut, pemikiran dan gagasan Amartya Sen, nobelis dunia asal India, menjadi relevan dan penting disimak. Professor Sen adalah ilmuwan kelas dunia dengan kepedulian yang kuat terhadap hak asasi manusia. Memenangkan hadiah nobel di bidang ekonomi pada tahun 1998, gagasan Sen mengarah pada signifikansi kesejahteraan dan hak asasi manusia dalam teori dan praktik-praktik pembangunan. Ia memberikan landasan dan kontribusi dalam “welfare economics” dan mengembangkan pemikiran untuk mengembalikan dimensi etis dalam problem-problem ekonomi. Dalam teori-teorinya Amartya Sen menarik perhatian internasional terutama dalam rangka memajukan kesejahteraan, pembangunan manusia dan keamanan ekonomi. Baginya, pengingkaran terhadap hak asasi akan menjadi kendala bagi pembangunan manusia, karena jaminan akan hak asasi manusia dapat mengurangi resiko bencana sosial ekonomi. Hal ini jelas dapat diterapkan apabila anggota-anggota masyarakat memiliki sarana atau akses untuk mengadu, memperoleh kesempatan untuk mendapatkan informasi dan pengajaran yang mampu membuka wawasan dan kesadaran akan hak mereka.

Apa yang dicapai oleh Amartya Sen memang fenomenal. Lahir tahun 1933 di Santiniketan, Bengali Barat, India, Amartya Sen menghabiskan usia pendidikan dasar dengan pengaruh yang sangat kuat dari Rabindranath Tagore. Lebih dari separuh hidupnya dicurahkan pada masalah-masalah yang sehari-hari dihadapi oleh negara Dunia Ketiga, yakni kemiskinan, kelaparan dan pembangunan, dan keseluruhan gagasannya tersebut dikembangkannya dalam dunia pendidikan dan pengajaran di universitas. Beberapa karyanya adalah Development as Freedom (1999), On Ethics and Economics (1987), Poverty and Famines: An Essay on Entitlements and Deprivation (1982). Ilmuwan yang pernah bercita-cita menjadi bikshu ini kini menjadi guru besar ilmu ekonomi dan filsafat pada Trinity College di Cambridge, Inggris, dan beberapa universitas lain di dunia. Sen juga menjabat Presiden Asosiasi Ekonom Amerika. Menariknya, meskipun sebagian besar dari usianya dihabiskan di Amerika dan Inggris, Sen tetaplah seorang warga negara India.

Sebagai ilmuwan yang mengedepankan pentingnya restorasi etis dalam penerapan ilmu ekonomi teori-teori Sen merupakan terobosan penting dalam ekonomi pembangunan. Pada awalnya, obsesi keilmuan Sen memang terdengar klise dan banyak dicemooh, termasuk oleh profesornya di Cambridge, namun hal itu tidak menyurutkan keyakinan dan kesungguhan untuk terus bekerja mengkaji dan merevisi sejumlah parameter ekonomi pembangunan. Masa kecilnya di India yang akrab dengan kemiskinan membuatnya bertekad untuk mengenyahkan kemiskinan melalui ilmu ekonomi, hingga PBB akhirnya mengakui temuan-temuannya sangat signifikan untuk memetakan kemiskinan dan kelaparan di dunia. Hasil kerjanya dipandu oleh keyakinan bahwa ilmu ekonomi tidak hanya berurusan dengan pendapatan dan kekayaan, melainkan seharusnya juga berwajah manusia dengan dimensi moral yang kuat.

Dalam konteks human capital, idealnya manakala manusia mampu mengoptimalkan potensinya, akan maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Itu artinya, kesejahteraan suatu bangsa semestinya dapat dicapai dengan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Namun dalam pemikiran Sen, hal tersebut menjadi tidak buntu manakala akses terhadap anggota masyarakat untuk memanfaatkan segala potensinya dan menentukan pilihan untuk mengembangkan hidupnya terbatas dan dibatasi. Bagaimanapun, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan, salah satunya adalah persoalan aksesibilitas, baik kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial, termasuk pendidikan dan kesehatan, kebebasan mendapatkan informasi dan menyalurkan aspirasi serta kesempatan memperoleh pengamanan sosial. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan, baik untuk kepentingan pengembangan kesejahteraan dirinya maupun pengembangan kesejahteraan bersama.

Demokrasi, kemiskinan dan kelaparan dunia ketiga

Salah satu pengamatan dan pemikiran terpenting dalam karya-karya Sen adalah kajiannya mengenai bencana kelaparan yang menimpa dunia pada tahun 70an di sejumlah negara yang ternyata memiliki hubungan yang sangat erat dengan perkembangan demokrasi. Penelitiannya tersebut didukung data hasil serangkaian penelitian besar di berbagai negara Dunia Ketiga, antara lain bencana kelaparan besar di Bengali (1974), Ethiopia (1973 dan 1974), Bangladesh (1974), dan negara-negara Sahara (1968-1973). Menurutnya bencana kelaparan lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan ekonomi, semisal sistem administrasi dan pengelolaan distribusi pangan, ketimbang karena kelangkaan persediaan pangan atau kegagalan panen. Bencana kelaparan – adalah wujud paling ekstrem dari kemiskinan, dan hal itu hanya terjadi dalam masyarakat dengan sistem pemerintahan yang otoriter, negara diktator teknokratis, dalam ekonomi kolonial yang dijalankan oleh negara-negara imperialis dari Utara dan negara-negara baru merdeka di Selatan yang dijalankan oleh pemimpin nasional yang despotik atau partai tunggal yang tidak toleran.

Menurutnya, kelaparan secara substansial tidak pernah terwujud di negara mana pun yang independen, yang mengadakan pemilihan umum secara teratur, yang memiliki partai-partai oposisi untuk menyuarakan kritik dan yang mengizinkan surat kabar untuk membuat laporan secara terbuka dan mempertanyakan kebijakan pemerintah. Belakangan ini, negara yang sedang mengalami bencana kelaparan parah, seperti Korea Utara dan Sudan, adalah negara yang jelas-jelas memiliki rezim otoriter. Oleh karena itu, menurutnya krisis yang menghantam negara-negara Asia sejak tahun 1987 itu adalah akibat negara-negara kawasan ini telah mengabaikan perlindungan demokrasi.

Bila melihat ke masa lalu, agenda pembangunan sejak awal selalu memiliki keterkaitan yang erat dengan kehidupan manusia (human life). Akan tetapi, kaum miskin dan korban-korban pembangunan di berbagai dunia ketiga termasuk di Indonesia mungkin tidak terlalu tertarik dan tidak terfikir tentang demokrasi ketika pertumbuhan sedang melaju tinggi. Sebelum krisis ekonomi berlangsung mereka mengira roda ekonomi seakan terus melaju sementara pemerintahnya terus menjanjikan perbaikan ekonomi. Hanya saja ketika dinding itu runtuh menimpa sebagian besar kalangan masyarakat, ketiadaan lembaga demokrasi membuat suara rakyat terbungkam dan tidak efektif. Payung protektif demokrasi sama sekali tak tersedia tepat ketika ia sangat dibutuhkan. Gagasan dan pemikiran Sen sangat menarik bila direfleksikan dengan kondisi Indonesia dengan sistem pemerintahan baru. Pertanyaannya, apakah memang demokrasi yang kita bangun telah benar-benar mampu mensejahterakan masyarakat dalam arti yang sebenarnya? Ataukah memang demokrasi tersebut hanya bersifat semu, dimana hak-hak masyarakat justru diingkari dan dikhianati?. Itu artinya, ketika pemerintah dibiarkan berjalan sendiri tanpa didukung oleh sistem yang terbuka bagi keterlibatan warganya maka bencana ekonomi tidak akan terelakkan. Demokrasi, akan menjadi isu sentral dan baru terasakan ketika krisis mengancam dan kelompok yang tercerabut secara ekonomis membutuhkan penyaluran suara yang dapat disediakan oleh demokrasi.

Indikator-indikator kemiskinan, ketidakmerataan distribusi ekonomi, dan kelaparan, dalam pengamatan Sen, erat kaitannya dengan elemen moral dalam sistem pengambilan keputusan ekonomi di tingkat atas. Seperti telah disebutkan sebelumnya, kelangkaan pangan bukanlah penjelasan yang cukup masuk akal bagi bencana kelaparan, terutama di tempat-tempat dimana pangan dan sumber daya alam tersedia melimpah. Namun dengan adanya kemiskinan ditambah krisis ekonomi menimpa negara-negara dunia ketiga, beban terberat tertuju kepada lapisan masyarakat yang paling rentan dan paling tidak berdaya berhadapan dengan mesin-mesin “pembangunan”. Pembangunan berkelanjutan sekalipun kerap kali melupakan fakta bahwa apa yang dibutuhkan rakyat untuk keamanan mereka bukan hanya keberlanjutan pembangunan secara keseluruhan, melainkan juga kebutuhan akan perlindungan sosial ketika bencana tersebut datang berhampiran. Lebih jauh lagi, menurutnya pembangunan semestinya tidak menjadi proses yang dingin dan menakutkan yang justru mengorbankan darah, keringat serta air mata rakyat. Pembangunan, adalah sesuatu yang semestinya memiliki wajah yang lebih bersahabat bagi rakyat, karena untuk merekalah istilah “pembangunan” itu ada. Pembangunan juga pada akhirnya mesti menjadi sarana bagi rakyat untuk mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya.

Akrab dengan panggilan Babu, Amartya Sen menggenapkan posisinya sebagai seorang professor sejak usia 23 tahun. Bertahun-tahun menekuni dunia ekonomi, dia tidak saja dikenal sebagai ekonom berpandangan tajam, tetapi juga pemikir kritis yang mampu menganalisa berbagai masalah politik dan budaya dari sisi paling dasar. Argumen-argumen yang bersifat falsafi kerap bermunculan dan secara konsisten mengedepankan etika, sebagai perbandingan yang seimbang. Selama berabad-abad telah tercipta jarak yang sangat jauh antara ekonomi dan etika, dan itulah yang menjadi penyebab mengapa ilmu ekonomi gagal mensejahterakan kehidupan manusia secara mendasar, oleh karena itu Amartya Sen menjejakkan seluruh hidup dan karya untuk memadukan ekonomi dan etika agar menjadi landasan perilaku aktual dari aktor-aktor ekonomi. Bahwa pada akhirnya ilmu menjadi tidak memiliki konteks dan kegunaannya tanpa landasan moral dan pemahaman yang utuh akan integritas manusia. (AN, dikumpulkan dari berbagai sumber)
**

No comments: